Makalah "Dasar dan Tokoh-Tokoh Tasawuf - Ilmu Tasawuf" - Akmal #MPI24

 

MAKALAH

ILMU TASAWUF

 

Tentang

Dasar  dan Tokoh-Tokoh Tasawuf

 


Dosen Pengampu:

Drs. Tgk Amry Jalaluddin


Disusun Oleh:

Akmal


 

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM 

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-WASHLIYAH

ACEH TENGAH

2024


 

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr.Wb


Puji Syukur kita ucapkan Kehadirat Allah S.W.T dengan ucapan Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Yang mana Allah telah memberikan kesahatan, kelapangan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Ilmu Tasawuf”.

Shalawat beserta salam juga tidak lupa kita kirimkan kepada Nabiyullah Muhammad S.A.W  dengan Ucapan Allahumma Shalli ala Muhammad wa Ala ali Muhammad. Yang mana beliau telah membawa kita dari alam jahiliyah ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Makalah ini memuat tentang Pendahuluan, Pembahasan, Penutup dan Daftar Pustaka. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf.

Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang berperan penuh dalam penyusunan makalah ini. Dengan menggunakan makalah ini semoga kegiatan belajar dalam memahami materi ini dapat menambah wawasan pengetahuan.

Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka kami sangat mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun untuk kesempurnaan makalah dimasa akan dating. Mohon maaf jika ada kesalahan mulai dari penulisan, bahasa maupun kutipan-kutipan yang kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua.


                                                                                                  Takengon,    November 2024



                                                                                                                   Akmal


BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Istilah Tasawuf  merupakan istilah yang baru di dalam dunia Islam, Sebab pada Zaman Nabi Muhammad SAW belum ada istilah tentang Tasawuf namun tentang penerapan Ilmu tasawuf sudah ada sejak Zaman Nabi Muhammad SAW.

Selama abad pertama hijriah tasawuf belum dikenal sebagai sebuah  disiplin  ilmu  yang  mandiri.  Abad  ketiga  hijriah  dapat diklaim sebagai awal dari adanya kesadaran untuk merumuskan epistema  tasawuf  Islam  sebagai  bagian  dari  upaya  identifikasi tasawuf Islam dengan perilaku keagamaan yang senada. Klaim ini dikuatkan oleh fakta sejarah yang menyatakan bahwa dalam masa ini muncul nama-nama besar yang mulai tergerak untuk menulis tentang tasawuf.

Upaya perumusan epistema ini menjadikan  tasawuf  tidak  lagi  identik  sebagai  perwujudan sikap keberagamaan, namun beralih menjadi sebuah disiplin ilmu yang memuat sejumlah teori dan banyaknya terma-terma sufistik yang tersebar. Tasawuf yang sebelumnya punya kecenderungan elastis, tidak berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras dengan diskursus keagamaan lainnya seperti tafsir, tetapi dalam abad ke-3 H (masa kematangan tasawuf) justru terkesan kaku dan mengambil jarak yang ironisnya diakibatkan oleh kemandirian tasawuf itu sendiri.

Tasawuf juga sering digambarkan sebagai kecenderungan dan usaha memperoleh kekeramatan yang merujuk kepada pengertian kejadian luar biasa. Menggambarkan tasawuf seperti ini ternyata tidak tepat dan keliru sekalipun ia biasa terjadi di kalangan ahli tasawuf. Terjadi perkara-perkara yang menyalahi adat kebiasaan pada diri ahli tasawuf itu bukanlah satu kemestian bahkan perkara luar biasa juga boleh terjadi pada orang yang terlibat dengan kekufuran dan kesyirikan seperti pendeta, petapa dan ahli sihir. Ahli tasawuf  yang  sebenarnya  tidak  memberikan  tumpuan  kepada perkara seperti itu, malah apa yang menjadi tumpuan mereka ialah kekeramatan ilmu, iman dan taqwa. Oleh itu memahami tasawuf sebagai usaha mencapai kejadian luar biasa adalah suatu kekeliruan.


1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa Definisi dari Tasawuf?

2.      Siapa saja Tokoh-tokoh Tasawuf Dunia?

3.      Siapa saja Tokoh-tokoh Tasawuf Indonesia?


1.3  Tujuan

1.      Mengetahui Definisi dari Tasawuf.

2.      Mengetahui Tokoh-tokoh Tasawuf Dunia.

3.      Mengetahui Tokoh-tokoh Tasawuf Indonesia.



BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Definisi Tasawuf

       Arti tasawuf  dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam buku Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :

Berasal dari kata suffah = segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa

Berasal dari kata sūfatun = bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah- indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan

Berasal dari kata sūuf al sufa’ = bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.

Berasal dari kata safa’ = suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.

Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekah ke madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: Hikmat), dan suf (kain wol).

Dari segi linguistik (kebahasaan), maka dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.

Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli merujuk kepada tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang bertuhan.

Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang bertuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dangan Tuhan.2

Jika tiga definisi tasawuf tersebut di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.

Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meniggalkan larangannya menuju kepada perintahnya.


Suhrawardi menyatakan,:

“Pendapat para syaikh mengenai esensi tasawuf lebih dari seribu pendapat., Ath-Thusi menyebutkan bahwa Ibrahim bin Maulis Ar-Riqi telah menyampaikan lebih dari seratus jawaban saat ditanya tentang definisi tasawuf. Al-Qusyairi di dalam Risalahnya yang masyhur merangkum 50 definisi dari ulama pendahulu. Sedangkan Nicholson merangkum 78 definisi. Karena itu kalimat tasawuf telah menjadi istilah yang berkembang seiring perkembangan zaman, dan terpengaruh oleh berbagai situasi dan kondisi zaman. Oleh karena itu, ditemukan arti tasawuf di satu masa berbeda dengan yang ada di masa lain, satu sufi dari sufi lain, hingga dari satu individu di satu waktu ke waktu lain. Hal tersebut disebabkan oleh setiap orang menyampaikan menurut perasaan dan citarasa spiritualnya. Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama Allah tanpa ketergantungan. Dan dikatakan: Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam : (1) Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir (2) kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain (3) Meninggalkan mengatur dan memilih“

Ibnu Khaldun menyatakan, “Banyak sufi berusaha mengungkapkan arti tasawuf dengan kalimat yang general dalam memberika keterangan maknanya, tetapi tidak satu pun pendapat yang tepat. Di antara mereka ada yang mengunkapkan kondisi-kondisi permulaan, ada yang mengungkapkan kondisi-kondisi akhir, ada yang mengungkapkan sebagai pertanda, ada yang mengungkapkan prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya, ada yang menyatukan prinsip dan dasarnya. Masing-masing dari mereka mengungkapkan apa yang ditemukannya dan masing-masing bicara menurut derajat spiritualnya. Masing-masing menyatakan apa yang terjadi pada dirinya, menurut pencapaiannya dalam bentuk ilmu, atau amal, atau kondisi spiritual, atau dzauq (cita rasa spiritual), atau selainnya. Seluruhnya adalah tasawuf.

Di antaranya definisi yang dihadirkan sebagai contoh dan, bukan untuk pembatasan.

Ma’ruf Al-Kurkhi mengatakan, “Tasawuf adalah mengambil hakikat-hakikat dan tidak tertarik pada apa yang ada ditangan makhluk.”

Dzunnun Al-Mishri ditanya mengenai sufi, lalu ia menjawab, “Sufi adalah orang yang tidak letih sebab permintaan dan tidak gelisah sebab dicabut nikmat.” Ia juga mengatakan, “Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah di atas setiap sesuatu, sehingga Allah mengutamakan mereka di atas setiap sesuatu.”

Abu Yazid Al-Bustami ditanya apa itu tasawuf, lalu ia menjawab, “Sifat Yang Haq dikenakan oleh hamba.” Ia juga berkata, “Tasawuf adalah mengikat kelembutan dan menolak tabir.” Juga, “Melempar ego dan melihat Allah secara total.” Dan, “Cahaya berkilauan yang tertangkap oleh bashirah lalu ia menatapnya lekat-lekat.”

Sahl At-Tustari mengatakan, “Sufi adalah orang yang melihat darahnya boleh ditumpahkan dan miliknya mubah.” Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah sedikit berkonflik dan berdiam bersama Rabbul ‘Ula, serta lari kepada Allah dari seluruh manusia.”

An-Nawawi mengatakan, “Sifat sufi adalah diam saat tiada dan itsar (mengutamakan orang lain) saat ada.” Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah setiap pencapaian jiwa.” Juga, “Tasawuf adalah menebar maqam (derajat spiritual) dan bertautan pada konsistensi.”

Samnun ditanya mengenai tasawuf, lalu ia menjawab, “Kau tidak memiliki sesuatu, dan tidak sesuatu pun yang memilikimu.”

Junaid mengatakan, “Tasawuf adalah Yang Haq mematikanmu darimu dan menghidupkanmu dengan-Nya.” Ia juga berkata, “Tasawuf adalah kau bersama Allah tanpa hubungan.” Juga, “Tasawuf adalah paksaan yang tidak menyimpan perdamaian.” Dan, “Tasawuf adalah dzikir disertai pertemuan, ekstase disertai mendengar, dan amal disertai ketaatan.” Juga, “Tasawuf adalah sifat yang di dalamnya hamba ditegakkan.” Ia ditanya, “Sifat bagi hamba atau sifat bagi Yang Haq?” Ia menjawab, “Sifat bagi Yang Haq pada tataran hakikat, dan sifat bagi hamba pada tataran bentuk.” Juga, “Tasawuf adalah hamba tidak melihat selain Yang Haq, tidak harmoni selain terhadap Rabb-nya, dan tidak membarengi selain waktu-Nya.” Dan, “Tasawuf adalah kelekatan sirr dengan Yang Haq.”

Ruwaim ditanya mengenai tasawuf, lalu ia menjawab, “Melepaskan ego bersama Allah Ta’ala menurut kehendak-Nya.” Ia juga mengatakan, “Tasawuf didasarkan pada tiga etik; berpegang teguh pada kefakiran, mewujudkan pengorbanan dan itsar, serta tidak memilih-milih.”

Ibnul Jala mengatakan, “Tasawuf adalah hakikat yang tidak punya bentuk.”

Al-Hallaj. ditanya mengenai sufi, lalu ia menjawab, “Ketunggalan ego yang tidak diterima oleh seseorang dan tidak menerima seseorang.” Ia juga mengatakan, “Siapa yang mengisyarat kepadanya maka ia mutashawwif, dan siapa yang mengisyarat tentang dirinya, maka ia sufi. Sufi adalah orang yang mengisyaratkan tentang Allah, karena kebanyakan orang mengisyarat kepada Allah.”

Abu Muhammad Al-Jariri ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab, “Masuk ke dalam setiap etika yang luhur, dan keluar dari setiap etika yang rendah.” Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah muraqabah terhadap kondisi-kondisi spiritual dan menetapi adab.”

Abu ‘Amr Ad-Damsyiqi mengatakan, “Tasawuf adalah melihat alam semesta dengan pandangan kekurangan, sebaliknya menutup mata terhadap setiap sesuatu yang kurang untuk musyahadah (kontemplasi) terhadap Dzat yang suci dari kekurangan.”

Al-Katani berkata, “Tasawuf adalah kejernihan dan kontemplasi.” Ia juga mengatakan, “Sufis adalah sahaya secara zhahir dan merdeka secara batin.”

Abu Ali Ar-Rawadzbari mengatakan, “Sufi adalah orang yang mengenakan wol atas dasar kejernihan, memberi makan dirinya dengan makanan buruk, melempar duniawi ke belakang, dan menempuh jalan Mushthafa.”

Abu Bakr Asy-Syibli mengatakan, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah tanpa kepentingan.” Ia juga mengatakan, “Sufi adalah orang yang terputus dari makhluk dan bersambung dengan Yang Haq.” Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku” (Thaaha: 41), kemudian Allah berfirman, “Dan kau tidak akan melihat-Ku” Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah kilat yang membakar.” Ia juga mengatakan, “Sufi adalah anak-anak di ruang Yang Haq.” Juga, “Tasawuf adalah ‘ishmah (terpelihara) dari penglihatan spiritual terhadap alam ” Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah syirik karena merupakan terpeliharanya hati dari melihat yang lain, padahal tidak ada yang lain.” Dan, “Sufi tidak melihat di dua negeri bersama Allah selain Allah.”

Abu Hasan Ash-Shairafi mengatakan, “Tasawuf adalah menjauhkan penglihatan spiritual kepada Yang Haq secara lahir dan batin.”

Al-Hashri berkata, “Sudi tidak eksis setelah ketiadaannya, dan tidak tiada setelah eksis.”

Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “Tasawuf adalah memutus hubungan- hubungan, menolak ciptaan-ciptaan, dan bertaut pada hakikat-hakikat.”

Abul Hasan Al-Kharqani mengatakan, “Sufi bukan menurut pakaiannya, sajadahnya, penampilannya, dan kebiasaannya, melainkan sufi adalah orang yang tidak punya wujud.” Ia juga mengatakan, “Sufi adalah siang yang tidak butuh matahari dan malam yang tidak butuh bulan dan bintang, dan ketiadaan yang tidak butuh wujud.”

Ibnu ‘Arabi mengatakan, “Tasawuf adalah akhlak Ilahi.”

Abdul Karim Al-Jili mengatakan, “Sufi adalah orang yang jernih dari kotoran- kotoran basyariyah dengan Nama-Nama Yang Haq, Sifat-Sifat-Nya, dan Dzat-Nya.”

Dari uraian di atas, tidak satu definisi sempurna dan komprehensif, yang menawarkan pemikiran sempurna mengenai esensi tasawuf, dan bahwa definisi-definisi ini memiliki kekurangan. Setiap definisi hanya menjelaskan satu aspek atau sifatnya saja. Oleh karena itu, Abdul Halim Mahmud telah mengutif dari definisi Al-Katani (tasawuf adalah kejernihan dan kontemplasi) dengan argumen bahwa definisi ini telah mencakup dua sisi yang dalam kesatuan yang sempurna membangun definisi tasawuf. Pertama adalah wasilah, yaitu kejernihan; dan yang kedua adalah tujuan, yaitu kontemplasi. Kemudian beliau menyatakan, “Musyahada adalah derajat ma’rifat yang paling tinggi. Jadi, tasawuf adalah ma’rifat—derajat ma’rifat tertinggi setelah kenabian, dan tasawuf adalah jalan menuju musyahadah (kontemplasi).

Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard University sebagai contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah

‘Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang- orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.

Menurut Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi beliau ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawab:

‘Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.

Menurut Abd al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak yang membentuk tasawuf :

‘Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta dermawan. Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan Allah dengan manusia yang tak terpisah, sampai merasuk dalam qalbu sehingga manusia yang ber-tasawuf itu selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim, karena manusia dalam pengertian qalbu dan ruh, dapat dihubungkan dengan Allah seperti firman Allah dalam hadis Qudsi :

‘Allah berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit- Ku tidak mampu memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin dapat memuat Aku.

Hakekatnya, tasawuf berdiri pada dua dasar:

Pertama, pengalaman batin langsung dalam hubungan antara hamba dan Rabb.

Kedua, kemungkinan unifikasi antara sufi dan Allah.

Dasar pertama adalah kondisi-kondisi spiritual dan derajat-derajat spiritual. Kedua adalah peneguhan Yang Mutklak, atau Wujud Yang Haq, atau Maujud Tunggal, yang dalam naungannya mencakup seluruh maujud dan ada kemungkinan bertaut dengannya, sehingga tidak ada yang eksis selain Dia.

Tasawuf adalah usaha menaklukan dimensi jasmani manusia agar tunduk kepada dimensi rohani (nafs), dengan berbagai cara sekaligus bergerak menuju kesempurnaan akhlak seperti dinyatakan kaum sufi dan meraih pengetahuan atau makrifat (ma’rifah) tentang zat Ilahi dan kesempurnaan-Nya. Menurut kaum sufi, proses ini disebut sebagai “mengetahui hakikat” (ma’rifah al-haqiqah). Adapun pengertian lain dari tasawuf adalah bertekun ibadah dan memutuskan hubungan dengan segala sesuatu, hanya menghadap Allah semata.


2.2     Tokoh-tokoh Sufi

A.           Tokoh Sufi Dunia

1.      Rabi'ah al-Adawiyyah

Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713-717 Masehi. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat. Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani istrinya yang akan melahirkan. Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah, Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata pada Ismail agar jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah, akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.


2.      Abu Nawas

Abu Nawas atau dikenal sebagai Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami.Abu Nawas terlahir pada tahun 747 M sebagai anak yatim di kota Ahvaz, Iran. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Sepeninggal ayahnya, Abu Nawas kemudian dibawa ibunya ke kota Basra, Irak. Dia di sana belajar beberapa ilmu agama seperti ilmu hadits, sastra Arab, dan ilmu Al-Quran.


3.      Abu Yazid Al-Busthami

Abu Yazid Al-Busthami (bahasa Arab: أبو يزيد البسطامي) adalah sufi abad III Hijriyah berkebangsaan Persia, lahir tahun 804 M/ 188H . Nama kecilnya adalah Tayfur, sedang lengkapnya Abu Yazid Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Busthami.Dalam literatur-literatur tasawuf, namanya sering ditulis dengan Bayazid Bastami (بايزيد بسطامى).[4] Setelah dikaruniai seorang putra bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid (arti:Ayah Yazid).

Abu Yazid adalah sufi pertama yang membawa ajaran al-fana, al-baqa, dan ittihad, yakni suatu ajaran mengenai paham meniadakan diri (jasmani), yang mana kesadaran rohani merupakan hal yang kekal saat bersatu dengan-Nya.


4.      Al-Junaid al-Baghdadî

Imam Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Nahawandî al-Baghdadi al-Khazzaz al-Qawariri asy-Syafi'i,[1] atau lebih dikenal dengan Al-Junaid al-Baghdadî, lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Syafi'i, dan akhirnya menjadi kepala qadi di Baghdad. Ia belajar ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i.

Al-Junaid mempelajari ilmu tasawuf dari pamannya sendiri, Syekh as-Sari as-Saqti hingga pada akhirnya ketinggian ilmu Al-Junaid menjadi dirinya sebagai ulama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Kecintaannya terhadap ilmu tasawuf sangatlah tinggi, yang diungkapkannya dengan kata-kata: “Apabila saya telah mengetahui suatu ilmu yang lebih besar dari Tasawuf, tentulah saya telah pergi mencarinya, sekalipun harus merangkak.”

Al-Junaid dikenal sebagai tokoh sufi yang sangat menekankan pentingnya keselarasan antara praktik dan doktrin tasawuf dengan kaidah-kaidah syari’at. Salah satu ungkapan Al-Junaid tentang ilmu tasawuf yang dikutip oleh al-Kūrânī dalam Itḥâf al-dhakī adalah ucapannya: “Pengetahuan kami ini terikat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.” Ini mengindikasikan bahwa ajaran tasawuf menurut Al-Junaid haruslah tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.


5.      Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (bahasa Arab: ابو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي الشافعي) (1058 (umur -54–-53)) adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Al-Ghazali merupakan salah satu penganut sufisme pada abad ke-5 Hijriah. Kecenderungannya kepada sufisme didasari oleh kehidupannya yang terbagi menjadi dua gaya hidup. Pada masa mudanya, al-Ghazali menekuni ilmu dengan semangat yang tinggi hingga akhirnya menjadi pengajar di Perguruan Nizamiyah. Kehidupannya saat itu diliputi dengan kekayaan. Setelah ia memperoleh kekayaan dan jabatan, ia mulai meragukan keadaannya tersebut. Al-Ghazali mengalami perubahan kehidupan setelah ia mengalami pengalaman tasawuf. Gaya hidup keduanya diliputi oleh ketenangan dan ketenteraman dengan menjadi penulis. Pada gaya hidup keduanya ini, ia banyak menulis tentang tasawuf.

Al-Ghazali membagi perjalanan untuk menjadi sufi menjadi enam tahap. Tahap pertama adalah pertobatan. Persyaratan yang perlu dipenuhi untuk pertobatan adalah adanya ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu berupa pengetahuan tentang bahaya yang diakibatkan oleh dosa besar. Ilmu ini kemudian mengakibatkan sikap penyesalan dan kesedihan yang kemudian berubah menjadi tindakan untuk bertobat. Pertobatan ini dilakukan dengan kesadaran yang disertai tekad untuk todak mengulangi perbuatan dosa.

Tahap kedua adalah kesabaran. Al-Ghazali membagi jiwa manusia menjadi tiga daya, yaitu daya nalar, daya berbuat baik, dan daya berbuat jahat. Kesabaran dicapai oleh seseorang jika daya berbuat baik dapat mempengaruhi daya berbuat jahat.

Tahapan ketiga adalah kefakiran. Ia mengartikannya sebagai usaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Setiap keperluan yang merupakan kebutuhan harus diteliti dengan seksama mengenai kehalalan, keharaman dan kemubahannya. Kebutuhan yang haram atau meragukan harus ditinggalkan meskipun diperlukan.

Tahapan keempat adalah zuhud. Zuhud diartikan sebagai upayameninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi.

Tahapan kelima adalah tawakal. Tahapan ini dapat dicapai dengan meyakini secara teguh bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Pemurah serta Maha Adil. Pencapaian tahapan ini dilakukan dengan berserah diri sepenuhnya kepada keputusan Allah terhadap manusia.

Tahapan keenam adalah makrifat. Pada tahapan ini, manusia diyakini telah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Tingkat pengetahuan makrifat lebih tinggi dibandingkan pengetahuan yang diperoleh oleh akal. Puncak dari makrifat adalah timbulnya perasaan mencintai Tuhan.


B.       Tokoh Sufi Indonesia

1.      Syekh Hasan Genggong

Syekh Hasan Genggong atau lebih dikenal Kiai Hasan Genggong selengkapnya al-Arifbillah al-Quthbul Rabbani al-Ghaust asy-Syaikh Haji al-Syarif Muhammad Hasan bin Syamsuddin bin Qoyiduddin Al Qodiri Al Hasani (nama lain: Kyai Hasan Sepuh, lahir di Sentong, Krejengan, Probolinggo, 27 Rajab 1259 Hijriyah / 23 Agustus 1843 Masehi - meninggal di Genggong, 11 Syawal 1374 hijriyah / 1 juni 1955 masehi) adalah seorang guru sufi yang terkenal sebagai salah satu Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah. Beliau salah satu Mursyid dari tatanan Naqsyabandi dan pendiri Tarekat Naqsyabandiyah Ali Ba 'Alawiyah adalah cabang dari tarekat Naqsyabandiyah yaitu perpaduan dari dua buah tharekat besar, penyatuan dua sanad tarekat, yaitu Thariqah Naqsyabandiyah dan Thariqah Ali Ba 'Alawiyah, Beliau juga terkenal sebagai salah satu Wali Qutb di Indonesia.

Beliau merupakan seorang Ulama dari para Wali dan seorang Wali dari para Ulama. Beliau Pemilik Pengetahuan Yang Sempurna ('Arif kamil) dalam sufisme dan marifat. Ia dianggap sebagai Sumber Mata Air Kemursyidan, Berkahnya menembus seluruh ummat di masanya.[1] Ia adalah Spiritualis Berdirinya Nahdlatul Ulama.

Setiap tahun, Selain diadakan di Pesantren Zainul Hasan Genggong masyarakat luas mengadakan haul beliau di daerah masing masing penjuru utamanya di jawa timur secara bergilir, mendoakan, dan mengenang jasa-jasa besarnya menyebarkan pengetahuan keislaman ke seluruh masyarakat, khususnya di Pulau Jawa.


2.      Syekh Syamsuddin As-Sumatrani

Syeikh Syamsuddin Ibn Abdullah As-Sumatrani adalah seorang ulama besar Aceh yang hidup pada Abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Beliau merupakan murid dari seorang Ulama yang dikenal dengan nama Hamzah al-Fansuri. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawi, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain. Meskipun secara pasti tidak diketahui kelahiran beliau namun dari namanya menunjukkan bahwa beliau merupakan Ulama yang berasal dari Pasai (Aceh). Beliau meninggal dunia dalam pertempuran dengan portugis di Melaka pada pada tahun 1040 H/ 1630 M dan dikebumikan di Kampung Ketek, Melaka. Dalam kitab Bustanul Salatin karya Syeikh Nurruddin ar-Raniri juga diperoleh keterangan bahwa Syamsuddin wafat pada hari ke-12 bulan Rajab tahun 1039 H/1630 M.

Karya-karya Syamsuddin Sumatrani ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Jawi). antara karyanya adalah seperti berikut:

a.         Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

b.         Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 halaman; berbahasa Arab). Karya  ini mengandungi penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.

c.         Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).

d.        Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Karya ini bukti yang cukup kuat bahawa Syamsuddin Sumatrani adalah penyambung aktiviti dan bertanggungjawab menyebarkan ajaran gurunya Hamzah Fansuri.

e.         Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terhadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.

f.          Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandungi pembicaraan tentang rahsia ilmu makrifah (martabat tujuh).

g.         Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandungi penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

h.         Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang roh.

i.           Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.


3.      Syekh Nuruddin al-Raniri

Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi atau populer dengan nama Syekh Nuruddin Al-Raniri adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Adapun Karya-karya dari Syekh Nuruddin Al-Raniri adalah:

a.      Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja)

b.       Shiratal Mustaqim (Jalan yang Lurus)

c.      Darul Fawaid Fi Syarah Al 'Aqaid

d.       Fawaid Al Bahiyah


4.      Syekh Abdurrauf al-Fansuri

            Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (bahasa Arab: الشيخ عبد الرؤوف بن علي الفنصوري السنكيلي, lahir Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - wafat Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M), sering juga sebut Syekh Abdurrauf Singkel, adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam dan tarekat Syattariyah di Sumatra dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelar lainnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala, yang dalam bahasa Aceh artinya "Syekh Ulama di Kuala".

Adapun karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:

a. Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.

b.  Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.

c. Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.

d.  Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.

e.   Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.

f.   Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.

g.      Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.


5.      Syekh Yusuf Al-Makassari

Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (3 Juli 1626 – 23 Mei 1699) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.

Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Abadin Tadia Tjoessoep (bahasa Arab: عابدين تاجة يوسف) atau Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin (berkuasa sejak 1593 - wafat 15 Juni 1639, penguasa Gowa pertama yang muslim), raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf.

Syekh Yusuf belajar ke Pesantren Cikoang pada Syekh Sayyid Jalaluddin Bafagih (keturunan Imam Muhammad Maula Aidid). Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten.

Pada tahun 1644, Syech Yusuf menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk beberapa lama, dimana Ia belajar kepada ulama terkemuka di Mekkah dan Madina [5] Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Syech Yusuf mempelajari Islam sekitar 20 tahun di Timur Tengah.


BAB III

PENUTUP


3.1    Kesimpulan

Berdasarkan paparan makalah di atas dapat di simpulkan sebagai berikut:

1.      Ilmu Tasawuf merupakan ilmu untuk mempertajam mata hati.

2.      Di dalam mengkaji ilmu Tasawuf terdapat beberapa tokoh penting sebagai pedoman kita dalam mempelajari ilmu Tasawuf ini.

3.      Selain Tokoh dunia, ternyata Indonesia juga memiliki beberapa orang tokoh yang sangat kuat akan ilmu Tasawufnya.


3.2    Saran

 Adapun saran untuk penulis dan pembaca makalah ini, yaitu:

1.      Membaca lebih banyak lagi tentang Buku-buku yang membahas tentang Ilmu Tasawuf.

2.      Mengikuti kajian yang mendalam tentang Topik ini.

3.      Mencari informasi yang terpercaya baik itu dari Media Cetak serta Media Elektronik.


 

DAFTAR PUSTAKA


https://duniaislam.id/pengertian-tasawuf-menurut-para-ahli-secara-lengkap

(di Akses 8 Oktober 2024)


Sufisme - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 8 Oktober 2024).


Rabi'ah al-Adawiyyah - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 8 Oktober 2024).


Abu Nawas - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 8 Oktober 2024).                                                         


Junaid al-Baghdadi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 8 Oktober 2024).


Abu Yazid al-Busthami - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 8 Oktober 2024).


Al-Ghazali - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 8 Oktober 2024).


Syamsuddin As-Sumatrani - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 10 Oktober 2024)


Abdurrauf al-Fansuri - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 10 Oktober 2024)


Yusuf Al-Makassari - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(di Akses 10 Oktober 2024)


 

Post a Comment for "Makalah "Dasar dan Tokoh-Tokoh Tasawuf - Ilmu Tasawuf" - Akmal #MPI24"